Dongeng

Mestinya ada dongeng baru setiap hari, seminggu sekali, minimal sebulan sekali. Orang butuh dongeng, tapi peri-peri di negeri dongeng pada mati karena kelamaan tak disajeni. Semakin banyak peri yang mati, semakin sedikit pula dongeng yang mengalir ke dunia manusia.

Mau gimana lagi? Prosesi mendongeng tidaklah praktis. Dibutuhkan suasana hati yang lega, pikiran yang ringan untuk memanggil peri dongeng yang menyenangkan.

Belum lagi, satu sesi dongeng harus diikuti paling tidak satu orang pemirsa yang bersedia mengosongkan pikirannya dan menerima sabda rahasia peri di balik setiap dongeng. Adapun syarat biologis pelengkap, yaitu makanan kecil, minuman hangat dan suasana sejuk nan tenang untuk merekat dongeng: dari peri, ke pendongeng lalu pemirsa.

Merepotkan.

Orang-orang berhenti menyajeni peri karena katanya pada dasarnya dongeng tak menghasilkan. Dongeng, paling banter ya, dipublikasi di majalah dan buku. Tapi tahu sendiri kan, komisi penulis besarnya seadiknya iprit: keciiiil.

Jadi buat apa jadi dongeng?

Kadang, dongeng bisa dijual ke pembuat sinetron atau film bioskop. Tapi penghasilan musiman kayak begitu, siapa yang mau? Apalagi kalau ceritanya tak jelas dan bukan tentang harta warisan, rebutan pacar, atau jadi “bisnis, man!”

Lagipula, kita semua tahu, Dongeng di TV bukannya mendidik, malah membodohi. Jadi…udah deh, ganti topik dan berhentilah mendongeng.

Biarlah peri-peri di negeri dongeng terlantar tanpa sajen, salah sendiri kenapa mereka tidak mau praktis. Boro-boro mau menyajeni peri, makan buat sendiri saja susah. Belum lagi kemubaziran prosesi mendongeng.

Kalau ikut kursus, seminar, atau wawancara, masih ada bukti konkretnya. Foto bersama, sertifikat, materi tertulis, PR…apapunlah untuk membuktikan bahwa slot waktu – dari jam sekian sampai jam sekian, pada hari anu, ada kesaksian bahwa kita ini orang yang bijak membagi waktu dan uang.

Tidak seperti dongeng. Udah mahal, repot, tidak ada pembuktian apa pun pula. Hare gene?

Makanya itu, makin banyak orang yang lebih senang jalan sendiri, atau berduaan dengan penuh tujuan, atau beramai-ramai asal ada untungnya.

Biarlah kesenangan jadi lebih mahal, tapi paling tidak ada bukti konkret : perangkat, beton, karcis, mobilitas. Biar besok-besok kita bisa cerita ke tetangga bahwa kerja sampai ujung dunia, menghilang sampai tak mudik, semuanya ADA HASILNYA.

Bukan apa-apa, tapi kita semua tahu, apa yang ada hari ini, mungkin besok-besok tak ada bekasnya lagi. Jadi, “Hajar!!”

Mendongeng? Plis deh. Itu kan kerjaannya orang kampung yang tak mampu langganan TV kabel atau DVD Player atau Broadband Internet.

Jaman dulu, waktu cahaya cuma dari bulan & api unggun, waktu peri masih sering kelihatan di balik pohon pada penghujung hari, mungkin masih cocok untuk mendongeng.
Jaman dulu, orang memang lebih susah cari kesenangan, sampai harus saling mendongeng. Iya kalau mereka kreatif mendaur ulang dan mengarang, masalahnya dongeng yang itu-itu juga diulang-ulang! Kagak bosen apa?

Dongeng terlalu mahal untuk dinikmati, dengan keuntungan yang terlalu kecil untuk dihitung, dan isi yang terlalu berat untuk diterapi dalam hidup sehari-hari seperti sekarang.

Dongeng bukan untuk konsumsi “orang yang jadi” (mereka bisa mendongeng ke anak-cucunya nanti) atau untuk kawan-kawannya sesama jompo (pernah punya duit ratusan juta, pernah kerja di Dubai).

Dongeng hanya buat orang-orang yang gampang dibohongi. Orang-orang tanpa ambisi. Orang-orang korban kemiskinan. Kenyataannya, butuh biaya untuk mendengarkan dongeng. Butuh biaya untuk mendongeng. Butuh biaya untuk menyajeni peri-peri penyimpan dongeng. Dan biaya itu lebih baik dihabiskan diinvestasikan untuk makan enak, sekolah berkualitas dan liburan di luar kota.

Hari gini, dongeng cukup berdiam di Nabire atau Mentawai saja, untuk mereka yang tinggalnya di pengasingan. Kita, yang tinggal di tengah mata uang, di negri emas dan layanan, tinggal cari bukunya, atau download di HP, baca sambil nunggu macet lerai di jalan pulang.

Sendiri-sendiri.

Biar ada yang untuk diceritakan di esok hari.

Semoga saja saat itu masih ada yang mau mendengar.


Artikel ini ditulis olehΒ Alia Makki

54 thoughts on “Dongeng

  1. dogeng sebuah inspirasi untuk anak-anak .dogengpun bisa untuk orang dewasa. kalau aku melihat acara di TV2 seperti bukan negri impian bagiku acara dongeng itu. namun dikemas dengan baik dantopiknya aktual

  2. Dongeng ? Memang sudah langka mas, Eyang dan bokap-nyokap dah nggak punya referensi lagi untuk mendongeng.Kalau dongeng Kancil sih saya masih punya, tapi anak-anak sekarang lebih senang mbaca spiderman, naruto atau kartun.
    Di TV dulu ada mata acara ndongeng lho, tapi karena ratingnya mungkin -500, jadinya dihapuskan karena gak ada yang masang iklan.
    Acara Legenda juga sudah dimodifikasi, di gelar dalam situasi kekinian. Malin Kundang sudah pake dasi dan kerja kantoran.
    Tapi seperti yang mas katakan, nun jauh disana, yang penduduknya belum bisa beli tv, even ukuran i inchi, mungkin masih ada acara ndongeng sebelum tidur bagi cucu atau anak-anaknya.

    Dongengan wayang saya juga ikut arus, tak modif agar yang muda2 nggak lari membaca postingan saya, sambil ngngrundel ” hari gini crita Banowatiiiiiii, nggak lahyawww.”

    Salam hangat dari Surabaya.

  3. ‘dongeng’ dengan ‘cara mendongeng’ seyogyanya dibedakan posisinya. barangkali karena kosakata dongeng identik dengan isi dongeng, cara mendongeng, berikut leyeh-leyehnya, dan ubo rampe berupa gorengan gula kopi dan kipas bambu untuk mengusir panas, sedikit ngolat-ngolet melepaskan kepenatan.

    asumsi yang sudah mengakar ini yang membuat dongeng tidak beranjak sebagai kegiatan mengisi waktu luang, membuang waktu, tanpa pernah terpikir untuk menempatkannya sebagai aktivitas utama yang bisa menunjang produktivitas.

    jika ini masih berlangsung, mungkin dongeng memang harus menjadi bagian dari lebatnya hutan, dalamnya laut, dan dinginnya awan. terlalu jauh di sana untuk bisa kita ajak berdamai dengan khalayak.

    salam…

  4. Pada jaman dahulu anak-anak diberi pengantar tidur dengan beragam macam dongeng.

    Meskipun ada satu-dua yang terlihat “berdarah-darah”, namun nyatanya tidak mengundang perilaku kekerasan. Karena inti dari dongeng tersebut adalah bagaimana memaknai kehidupan ini, welas asih terhadap sesama dan cinta lingkungan.

    Sayang sekarang, banyak ortu yang tidak sempat melakukan ini, mungkin bukannya tidak mau, namun karena di samping tidak punya koleksi dongeng, juga karena faktor kesibukan kerja.

  5. Again.. again.. again.. (teletabisdottipi=ON)
    Dengan dongeng membangun alam bawah sadar pendengar untuk mengajak peran otak kanan lebih aktif, menciptakan refleksi visual dari yang didongengkan yang akan berbeda pada masing-masing audiens. Manfaatnya bagi anak-anak terutama: karena kerja otak kanan yang bersifat grafikal, rasa dan emosi yang akan langsung memetakan fragmen-fragmen dalam tiap memori otaknya 1000 kali diatas kemampuan versetile mapping pada DVD HQ. Sementara otak kiri yang mengelola logik, matematik, gramatik akan mengindex fragmen pada otak kanan menjadi fix index (daftar isi).
    Bagi orang dewasa lebih menampilkan porsi otak kiri, sehingga dia akan langsung memilah dengan logikanya untuk ikut atau keluar ketika mendengar dongeng.
    Hasilnya anak-anak akan lebih ingat dongeng itu dibanding orang tua..
    (Hoii kuliahnya bukan disini… dosen nyasar..)
    Asik Gus, buat modal dongeng sama anak-anak.. hix.. hix.. hix..

  6. dongeng yang indah
    judulnya peri kehilangan pendongeng aja Gus…
    nanti di bikin sinetron. ada ibu peri, ada lala…
    tapi koq aneh ya. lala yg selalu di dampingi ibu peri, koq malah jadi wanita yang aneh ya?
    hmm, apa dongeng ibu peri yg salah ya?

  7. salam kenal,

    Dongeng? Hmmm… kayaknya susah dicari jaman sekarang, anak2 lebih suka sponge bob seraya rebutan remote tipi dengan mamanya yang kepengen nonton infoainment πŸ˜€

  8. salam
    Hmm..hari gene kok sulit ya membedakan mana dongengan mana realita, mana fakta…atau itu cuma perasan gw aja kali ya…
    Tapi didongengin sebelum bobo asyik juga πŸ˜€

  9. justru kita-kita ini sudah terbuai sama dongengan….dongengan yang bercerita harusnya begini lho orang modern hidup, beginian lho yang harus ditonton, termasuk bercerita apa perlunya lagi dongeng jaman sekarang…untuk kita manusia modern…

    timun mas…dimana dirimu?

  10. hadddiirrr….gus…
    menurutku justru saat ini kita butuh dongeng2 itu Gus. Kita sudah terlalu lelah melewati hari, pengantar tidur hanyalah sinetron2 yg ‘membodohi’ diri. Andai dongeng tentang peri baik hati, atau si buruk rupa berhati emas masih menemani kita beranjak ke alam mimpi, mungkin saja kita dapat bermimpi berjumpa dengan mereka, diskusi, sharing, ataupun berdebat tentang lakunya diri esok hari.
    Aih, aku jadi kangen ma dongeng2 itu.
    cu…

  11. hemmm jadi teringat dulu masih kecil gus… dulu sering di donengin waktu mau tidur…
    tapi sekarang udah gede jadi gak pernah di dongengin kaya dulu lagii

  12. terlalu banyak ruang untuk pujangga Gus, sementara ruang untuk peri tidak bertambah. Dongeng, yang hipnotik sekalipun, setiap hari lahir, menjadi terlalu banyak, sehingga tidak lagi istimewa.
    apalah arti keistimewaan jika semua istimewa?

    *wah, artikel tamu di blog baru kali ini saya lihat πŸ™‚

  13. Wah kalo saya seneng banget ngedongeng sama anak. Ujung-ujungnya jadi bercakap-cakap semacam diskusi sama anak. Anak sekarang juga kritis2, bagus juga jadi banyak nanya. Mungkin bermanfaat juga kisah jika pergi nggak ketemu seminggu lantas diceritakan perjalanan selama seminggu sama anak. Seru jadinya. Hanya dongeng kisah kayak dulu kita mendapat dongeng kali sekarang sudah langka. Anak saya sendiri lebih suka ngomongin dinosaurus dan kereta api dibanding sangkuriang. Trims artikel yang cakep Mas. Salam.

  14. Gimana kalo Guskar aja nyang menjadi pejuang pendongengnya? Saya yakin banyak nyang tertarik, dibukuken laku keras, diposting bisa bikin blogger pusing πŸ˜€ ^O^

  15. Salam bahagia, wah…mas… membuat saya teringat ketika masih kecil …nenek saya suka mendongeng mas Guskar… tapi sayang dongeng nenek saya dulu cuma cerita hantu melulu…he..he…Zaman sekarang dongeng udah diganti degan film karton ya…tapi banyak product jepang kan?….

  16. Iya..btullll!!!bosen denger dongeng yg berseliweran di tv…bukannya mndatangkan ‘hikmah’ malah bikin yg nonton ‘marah2’ heheh… mending crita pengalaman atau sejarah nabi n sahabatnya yang penuh hikmah aja! biar anak cucu kita jd anak yang pandai (hehe..ngomingin cucu jd berasa nenek2??? pdhal khan msh muda… :D) salam……

  17. “Kita, yang tinggal di tengah mata uang, di negri emas dan layanan, tinggal cari bukunya,”
    hmm…
    emangnya klo udah dibukukan, udah bukan bentuk dongeng lagi pak? πŸ™‚
    menurut saya sih, masih..

  18. Kenangan terbaik yang saya miliki dari Ayah saya, sebelum kita punya uang dan “jadi orang terpandang” di kampung, waktu beliau sebisanya mengulang cerita-ceritanya si Kancil. Diulang-ulang sampai budeg.

    Saya malah udah nggak inget lagi detail ceritanya si Kancil, yang saya ingat cuma bau & hangatnya badan Bapak waktu masih bisa digapai, waktu masih belum punya dunia, waktu masih menikmati “ngangon” anak-anaknya.

    Salam hangat dari Brebes.

  19. Ya, karena tidur yang terlalu panjang malah menumpuk mimpi buruk berkepanjangan. Semoga keterjagaan Anda ditemani cahaya dan peri yang bijaksana.

  20. Meong karena kalau lagi resah mengeong, kalau lagi lapar mengeong, kalau lagi ketemu kucing garong..yang apa maning! Hihi.

    Dongeng = Agama = Budaya = Ketuhanan.
    Kalau agamanya Islam, bisa cuma sampai KTP bisa sampai rahasia. Kalau budayanya Arab, bisa sampai lupa asal-usul, bisa juga sampai sekedar tahu. Ketuhanan? Yah, tau sendiri lah…

    Namanya dongeng, tapi mau sampai mana memengaruhi hidup sehari-hari, antara khayalak yang disebut-sebut itu?

  21. Setuju. Di sini ada banyak pemerhati dongeng. Masing-masing dengan teh & pisang gorengnya, tapi ramai-ramai nongkrong di Blognya mas Agus. πŸ˜€

    Terima kasih atas komentarnya, Bunda.

  22. Bedanya dongeng dengan berita, ya, yang berdarah-darah ada maknanya. Bukan cuma sesumbar ngeri, bukan cuma mengisi jeda bosan.

    Semoga “sibuk” tidak jadi alasan untuk menjadi orangtua yang lupa mendongengi anak.

    Terima kasih atas komentarnya, ‘Tuk. πŸ™‚

    • @Alia
      terimakasih Alia, senang sekali mendapat balasan komentar dari Alia *guskar cukup jarang melakukannya*. aku akan selalu menunggu tulisan Alia di artikel tamu ini, karena aku tak begitu berdaya untuk mengikuti Hning’s Asia… πŸ™‚ tulisan2 yang menakjubkan Alia, sungguh!

    • meong,
      kalo ketemu kucing garong, ya ikut nggarong πŸ™‚

      mempengaruhi khalayak (nuwun sewu, ini meskipun salah tapi diriku lebih suka pake mempengaruhi dibandingkan memengaruhi) πŸ™‚ ngeyelan ya…

      lanjut…
      mempengaruhi hidup sehari-hari khalayak, yang pasti dari waktu yang diluangkan untuk mendongeng (jika dongeng diartikan termasuk cara mendongeng). perkara esensi dongengnya sendiri ya diserahkan ke masing2 aja…
      eh padahal diriku bermaksud nge-gong-i paragraf terakhir malah justru menimbulkan tanya 😐
      bahkan sebetulnya berdamai, bukan mempengaruhi.

      diriku agak rancu dengan definisi dongeng di atas.
      pada bagian awal, dongeng meliputi cara mendongeng.
      di tengah2, dongeng bisa dilakukan dengan memakai media lain. artinya memisahkan cara mendongeng dari definisi dongeng.
      bagian akhir, -secara tersirat- kembali lagi cara mendongeng masuk dalam definisi dongeng, hingga hanya cukup berdiam di nabire atau mentawai.

      *cara mendongeng : harus diikuti paling tidak satu orang pemirsa yang bersedia mengosongkan pikirannya dan menerima sabda rahasia peri di balik setiap dongeng. Adapun syarat biologis pelengkap, yaitu makanan kecil, minuman hangat dan suasana sejuk nan tenang untuk merekat dongeng : dari peri, ke pendongeng lalu pemirsa.

      sehingga ada beberapa kata ‘dongeng’ yang seharusnya ‘mendongeng’ untuk menghindari kerancuan…

      salam.

  23. Setiap kali ditanya orang dari mana bisa bahasa Inggris, jawabnya dari film kartun. Spongebob bukannya tidak kaya pesan, tapi mungkin kurang dibahas dengan ahlinya, ya anak-anak itu. “Si Sponge hari ini ngapain, Wan? Oh ya? Menurutmu kenapa dia begitu?”

  24. Caranya orang tua untuk menghibur anak memang berbeda dengan dulu. Tapi kebutuhannya tetap sama, anak tetap butuh dipeluk, diperhatikan, diuwel-uwel. Bagaimana cara keduanya bisa ketemu, antara modernitas dengan kebutuhan?

    • Tergantung kebiasaan penutur itu, logika atau sense..
      Duh Alia.. Alia, dikau pintar sekali..
      Salam dari Vyan RH dosen nyasar… (?)

  25. Wah, sebegitunya kah Gus? hehehe…
    Saya sudah donlot beberapa postingan terakhir dari (oh, namanya koq ganti?) miss (?) Alia, tapi jujur takut mau komentar, takut salah paham inggrisnya.

    btw, yang anjuran buku tetralogi itu saya bales di sini ya Gus.
    Saya sudah baca tetralogi dengan terbolak balik. Pas kuliah dulu baca yang Rumah Kaca, dan baru beberapa bulan yang lalu menyelesaikan yang lainnya (menemani perjalanan ke Nias), termasuk bukunya Ahmad Tohari Ronggeng Dukuh Paruk. Yang terakhir ini juga seru tenan, sampai2 gambar sampulnya jadi foto profil saya di facebook sampai hari ini πŸ˜€
    Mungkin setelah Panggil Saya Kartini Saja, ingin break dulu sebentar, baca yang agak ringan (hohoho…, ngguaya banget ya Gus πŸ˜€ ). Beberapa hari ini sebenarnya ingin baca buku tentang wayang atau hal-hal yang berbau Jawa, tapi belum tahu mau beli buku apa, mungkin primbon. Tapi bisa juga The Sicillian-nya Mario Puzo dengan Angels & Demons-nya Dan Brown. Yang dua terakhir itu sudah kadung dikompor2i teman sejak dua bulan yang lalu, bahkan mau ditomboki dulu, katanya πŸ˜€

Leave a comment